Blogroll

Jumat, 25 November 2011

POTRET KONDISI HUTAN INDONESIA PERIODE 2000-2009

POTRET KONDISI HUTAN INDONESIA PERIODE 2000-2009

REP | 28 July 2011 | 10:05 512 13 1 dari 2 Kompasianer menilai bermanfaat

Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas ketiga di dunia dan ditempatkan pada urutan kedua dalam hal tingkat keanekaragaman hayatinya. Keanekaragaman hayati yang ada terdapat di bumi Indonesia meliputi: 10 persen spesies tanaman berbunga, 12 persen spesies mamalia, 16 persen spesies reptilia dan amfibia, 17 persen spesies burung, serta 25 persen spesies ikan yang terdapat di dunia.[1]
Namun, potret keadaan hutan Indonesia dari sisi ekologi, ekonomi dan sosial ternyata semakin buram. Kerusakan hutan di Indonesia masih tetap relatif tinggi dari tahun ke tahun. Pertumbuhan sektor kehutanan yang sangat pesat dan menggerakkan ekspor bagi perekonomian pada awal periode 1980-an sampai akhir 1990-an telah mengorbankan hutan karena kegiatan eksploitasi yang tidak terkendali dan dilakukan secara masif tanpa memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan. Konsekuensinya, Indonesia menjadi negara emiter karbon terbesar ketiga di dunia akibat hilangnya hutan karena terjadinya alih fungsi lahan hutan, kebakaran hutan, serta penebangan yang eksploitatif dan tidak terkontrol[2].
Pada tahun 2000 Forest Watch Indonesia bersama Global Forest Watch menyajikan laporan pertama mengenai kondisi hutan Indonesia. Dan tahun ini, melalui buku Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009, Forest Watch Indonesia ingin menyajikan laporan penilaian komprehensif mengenai keadaan hutan Indonesia untuk periode 2000-2009. Buku laporan ini menyediakan analisis yang rinci mengenai skala dan tingkat perubahan yang mempengaruhi hutan-hutan Indonesia dan menjawab beberapa pertanyaan penting diantaranya:
· Berapa luas tutupan hutan yang masih tersisa sepuluh tahun terakhir ini?
· Berapa besar tingkat deforestasi pada periode sepuluh tahun terakhir ini?
· Berapa luas hutan yang telah hilang selama 60 tahun terakhir ini?
· Bagaimana proyeksi perubahan tutupan hutan di setiap pulau pada 20 tahun ke depan?
· Apa saja kekuatan-kekuatan utama yang menjadi penyebab deforestasi di Indonesia?
· Kenapa RTRWP dinyatakan berkontribusi terhadap deforestasi di Indonesia?
Seperti buku yang pertama, di dalam buku ini juga menyatakan bahwa laju deforestasi yang tetap tinggi disebabkan suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi[3]. Penyebab langsung paling utama dari deforestasi dan degradasi hutan meliputi: ekspansi pertanian, ekstraksi kayu dan pembangunan infrastruktur. Sementara penyebab utama tidak langsung dari deforestasi meliputi: faktor-faktor ekonomi makro, faktor tata kelola, dan faktor lain seperti faktor budaya, faktor demografi dan faktor teknologi[4].
Periode ini, tekanan dari Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (HPH) terhadap eksploitasi hutan alam sudah mulai berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Turunnya produktivitas HPH berkaitan dengan semakin banyaknya HPH yang berhenti beroperasi akibat berbagai sebab, seperti rendahnya komitmen dalam mengelola hutan secara lestari, lemahnya sumber daya manusia, konflik kawasan yang berakhir pada penjarahan wilayah-wilayah HPH, termasuk terdapatnya paling tidak 51 unit HPH dengan luas areal kerja 3 juta ha yang dalam keadaan tidak aktif. Buruknya kinerja HPH ini tidak luput dari lemahnya kinerja pengurusan hutan dalam hal pengawasan dan supervisi oleh pemerintah. Berbagai celah akibat lemahnya peran pemerintah ini menjadi insentif tersendiri bagi unit manajemen HPH untuk mengeksploitasi areal kerjanya secara destruktif.
Pembangunan hutan tanaman industri (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman) dan sistem konversi hutan menjadi perkebunan menyebabkan deforestasi bertambah luas. Banyak pengusaha mengajukan permohonan izin pembangunan HTI dan perkebunan hanya sebagai dalih untuk untuk mendapatkan keuntungan besar dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) pada areal hutan alam yang dikonversi, dan setelah itu tidak melakukan penanaman. Fakta ini akan diperkuat bila melihat catatan resmi dari pemerintah terkait realisasi penanaman HTI. Sampai dengan akhir tahun 2007, laju pembangunan HTI selama 10 tahun hanya sebesar 156 ribu ha per tahun.
Tumpang tindih kawasan hutan dengan perkebunan merupakan salah satu konflik lahan di sektor kehutanan sepanjang sepuluh tahun terakhir. Banyak kasus menceritakan bahwa konsesi HPH, HTI telah dicaplok oleh perkebunan dan pertambangan. Pemerintah seolah mendukung kondisi ini, dengan mengeluarkan kebijakan baru tentang pelepasan kawasan hutan yang arealnya sudah telanjur rusak. Bahkan pemerintah telah meniadakan batasan areal perkebunan yang semula maksimal 20 ribu ha setiap provinsi.
Kebijakan pemerintah terkait pertambangan semakin menambah tekanan terhadap sumber daya hutan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4 Tahun 2005 menjadi preseden buruk dengan membolehkan pertambangan dalam kawasan lindung dengan mekanisme pinjam pakai. Bahkan kebijakan turunannya, yaitu PP No. 2 Tahun 2008, telah memperkuat perpu tersebut yang mengatur pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk izin pinjam pakai kawasan hutan.
Tingkat deforestasi yang tinggi dari tahun ke tahun bisa dipahami dengan melihat tingginya produksi kayu nasional yang berasal dari ekspansi HTI, melonjaknya perkebunan sawit dan pertambangan di kawasan hutan pada dasawarsa terakhir dan tidak tegasnya pemerintah dalam menangani perambahan untuk aktivitas perkebunan dan pertambangan. Secara garis besar bisa disimpulkan bahwa deforestasi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh kebijakan pemerintah sendiri, salah satunya kebijakan produksi kayu nasional.
Buku laporan mengenai Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009 disusun berdasarkan penafsiran citra satelit dan peta-peta terestrial serta berdasarkan data resmi dan laporan dari pihak pemerintah dan dari lembaga-lembaga pemerhati lingkungan. Walaupun disadari kesulitan dalam pengumpulan data-data dasar, tetap menjadi faktor penting untuk menghasilkan sebuah laporan yang komprehensif. Beberapa kesimpulan dalam buku laporan ini adalah sebagai berikut:
o Dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, tutupan hutan di Indonesia berkurang dari 162 juta ha menjadi hanya 88,17 juta ha pada tahun 2009. Atau setara dengan sekitar 46,3 persen dari luas total daratan Indonesia.
o Periode tahun 2000-2009, luas tutupan hutan Indonesia yang terdeforestasi adalah sebesar 15,15 juta ha, dan deforestasi terbesar terjadi di Kalimantan yaitu sekitar 5,5 juta ha (36,3 persen).
o Hutan Lindung yang terdeforestasi sebesar 2 juta ha sementara pada Kawasan Konservasi kurang lebih 1,27 juta ha.
o Pada tahun 2009 tutupan hutan di lahan gambut sekitar 10,77 juta ha atau sekitar 51 persen dari luas lahan gambut Indonesia.
o Periode tahun 2000-2009 tutupan hutan di lahan gambut mengalami deforestasi seluas 2 juta ha dengan sebaran deforestasi terluas terjadi di Sumatera yaitu sekitar 0,98 juta ha.
o Laju deforestasi pada periode tahun 2000-2009 adalah sebesar 1,5 juta ha per tahun, dengan laju deforestasi terbesar di Kalimantan yaitu sekitar 551 ribu ha per tahun.
o Pada tahun 2020 diperkirakan tutupan hutan di Jawa akan habis dan pada tahun 2030 tutupan hutan di Bali-Nusa Tenggara juga akan habis.
o Sejak tahun 2003 kontribusi sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto, terus mengalami penurunan yang signifikan. Dan pada tahun 2008, kontribusinya hanya tinggal 0,79 persen. Kecenderungan penurunan ini menjadi hal yang dipertanyakan mengingat pada rentang waktu yang relatif sama, produksi kayu bulat nasional justru mengalami peningkatan.
o Pada tahun 1995 unit Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (Hak Pengusahaan Hutan) berjumlah 487 unit, sedang pada tahun 2009 turun menjadi 308 unit dengan luas 26,16 juta ha.
o Rentang waktu tahun 1995-2009, perkembangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (Hutan Tanaman Industri) berkembang secara masif. Pada tahun 1995 hanya 9 (sembilan) unit, menjadi 229 unit pada tahun 2009, dengan luasan 9,97 juta ha.
o Pada tahun 2008, Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri primer hasil hutan kayu (termasuk kapasitas produksi di atas dan di bawah 6.000 meter kubik per tahun) yang berasal dari Hak Pengusahaan Hutan adalah 8,4 juta meter kubik. Pada tahun 2008 produksi kayu dari Hutan Tanaman Industri sebesar 22,32 juta meter kubik yang dialokasikan untuk pemenuhan bahan baku industri dengan kapasitas produksi di atas 6.000 meter kubik.
o Kuasa pertambangan memberi tekanan yang besar terhadap kawasan hutan. Hingga tahun 2011 lebih dari 6.000 kuasa pertambangan diterbitkan di dalam kawasan hutan dan hanya sekitar 200 unit yang telah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan.
o Tekanan terhadap kawasan hutan secara tidak langsung diakibatkan oleh kebijakan tentang penataan ruang wilayah dan kawasan hutan. Mekanisme paduserasi antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), tidak diikuti dengan aturan yang jelas dan tegas. Akibatnya, pemda kerap menjadikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (belum definitif) sebagai dasar hukum untuk menerbitkan Izin Usaha Perkebunan dan atau Kuasa Pertambangan di dalam kawasan hutan.
Sumber:
Forest Watch Indonesia (FWI)
Wirendro Sumargo/ Soelthon G. Nanggara
CP: 08111111934

0 komentar:

Posting Komentar